Thursday, 6 November 2014

Cerpen Remaja

Aku Masih Menunggumu 

Menunggu memang membosankan, apalagi menunggu sesuatu yang akhirnya hanya menyisahkan puing-puing harapan dan air mata. Fatamorgana cinta, awalnya memang terasa sangat indah. Tapi pada akhirnya, semua seperti sandiwara belaka. Perihal hati dan cinta memang selalu rumit. Tak ada rumus matematis yang dapat memecahkan semua masalah perasaan hati, terutama cinta. Tapi aku tak tahu, kenapa pada akhirnya aku menerimanya kembali, -Ranu. 

Aku hanya diam. Memperhatikan sisi-sisi lain yang lebih menarik dari pada wajah sedunya. Sudah hampir satu jam kami di sini. Duduk berhadapan di sebuah cafe yang kini sudah mulai lenggang. Hanya ada beberapa pengunjung yang masih bertahan dengan kopinya. Di luar sana hujan belum juga mereda. Masih sama derasnya saat mengguyur tubuh wanita di depanku. Tadinya aku ingin menyambutnya dengan sebuah pelukan, berbasa basi sesaat untuk menikmati kelembutan dan kehangatan tubuhnya. Atau bahkan melepas rindu dengan memangut bibir mungilnya. Tapi semua itu enggan ku lakukan. Aku hanya meminjamkan jaketku, membelai -lebih tepatnya merapikan- rambutnya sesaat, dan menyunggingkan senyuman kaku. 

"Kau tak kasian padaku? Diam membuatku membeku pada masa lalu, apalagi matamu yang menatap kosong itu." ucapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. 
"Bukankah ini ulahmu? Kau merusak kepingan hatiku yang rapuh." sahutku datar seraya melepas kaca mata persegi dan meletakannya di atas meja. 

Dengan begini aku bisa tenang, karena wajahnya akan terlihat samar di mataku. Masa lalu yang kelam membuatku seperti ini, mengindap mata minus. Sejak ia menolakku dan membuatku percaya bahwa fatamorgana cinta itu ada, aku menjadi lebih suka menyibukan diri dengan berbagai buku di perpustakaan kampus dan kota. Menulis semuanya dari awal hingga akhir dan itu membuatku harus duduk membisu berjam-jam di depan laptop bersama segelas cappuccino. Tidak sia-sia kerja kerasku selama ini, kini semua orang tahu ceritaku. Sebuah coretan bergaya mellow yang membuat namaku dihafal para remaja. Kini aku hampir bahagia, hidupku mulai tertata lagi, mengalir indah dengan beberapa hal yang baru, dan sayapku mulai sembuh. Tapi kini apa? Tiba-tiba dia datang membawa masa lalu. Untuk apa? Apa maksudnya? Tidakkah dia puas telah merusak hatiku. Mungkin dia belum puas atau mulai sadar jika dulu ia telah salah melangkah. 

"Maafkan aku." kupakai lagi kaca mataku. Dia tertunduk setelah berucap. Tubuhnya bergetar, mungkin ia menahan isak tangis atau gigil mulai menyelimutinya. 
"Untuk apa? Tak perlu meminta maaf. Aku sudah melupakan semuanya. Anggap saja kau baru mengenalku." dustaku seraya mengangkat secangkir kopi yang masih hangat, lalu kuminum sedikit demi sedikit. Nikmat. 
"Aku telah membuat kesalahan terbesar." dia berkata dengan suara lirih bergetar."Dia hanya memanfaatkanku. Bodohnya aku yang tak menghiraukan ucapanmu waktu itu." 
"Lalu sekarang apa?" tanyaku datar sambil meletakan segelas cappuccino. 
"Aku sadar, maafkan aku. Aku ingin mengulang semuanya dari awal denganmu." 
"Dari awal? Apa maksudmu? Tidakkah kau puas?" alisku terangkat saat dua kata itu terucap. 

_ 

Tiga tahun yang lalu. Aku dan dia duduk berhadapan di tempat yang sama, dan dengan suasana yang hampir sama. Kami kehujanan saat menuju cafe ini. Berlari-lari kecil menuju pintu masuknya dan aku ingat sekali jika dulu aku selalu menggenggam tangannya. Hari itu adalah hari yang berat untuk hatiku. Aku kira dia akan menerima cincin yang kubeli dengan uang hasil kerja kerasku menjadi peloper koran selama satu tahun. Tapi tidak. 
"Maaf Ranu, aku tidak bisa menerimanya. Simpanlah cincin itu untuk wanita lain. Aku ragu masa depanku akan buram dengan tuna karya sepertimu." ucapnya datar, tanpa merasa berdosa sedikit pun. Aku hanya tersenyum, menahan sebuah desiran yang lembut tapi tajam. Sesak sekali. Masihkah jantungku berdetak. Dadaku, berdenyut-denyut. Nyeri sekali hingga beberapa detik selanjutnya dan seperti ada sesuatu yang mendesak paru-paruku, membuat nafasku tak berarturan. 

Dengan sisa puing-puing harapan dan hati yang remuk, aku mencoba bertahan. Sekilas menatap wajah tak bersalahnya itu. Menyebalkan sekali, tidakkah dia merasa iba padaku? Sudahlah, aku muak! 
"Maafkan aku, Ranu. Aku tahu perasaanmu itu, tapi aku memilih untuk setia." kulihat ia mulai tertunduk dan aku masih memaku. Masih tak percaya akan semua ini. Memang aku ini orang tak punya sekaligus yatim piatu. Aku hidup sebatangkara, tanpa satu pun saudara. Perkerjaanku hanya berkeliling dengan sepeda, berhenti di setiap perkarangan rumah untuk menaruh koran pagi. Tapi setidaknya itu hasil keringatku sendiri dan halal untuk kunikmati dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tak terasa jika sebentar lagi aku akan wisuda, beasiswa yang kudapat memang sangat berguna. Mungkin dengan gelar sarjana nantinya, aku dapat merubah nasibku ke arah yang lebih baik. Aku pun tahu siapa yang dimaksud 'Dia'. Seorang anak dari salah satu pengusaha besar di kota ini yang mempunyai aset di mana-mana. Ke sana ke mari, bergaya dengan penampilan modis dan mobil sekelas ferari. Tapi itukan bukan miliknya? Melainkan milik orang tuanya. 

"Empat tahun aku menunggumu, berjuang mengubah nasib. Tapi apa yang ku dapat?" ucapku dengan amarah, membuatnya semakin tertunduk."Stop, jangan jelaskan padaku lagi. Semua yang kau jelaskan hanya alasan." tambahku saat dia akan berbicara. 

Aku berlalu, pergi meninggalkannya dengan luka abadi. Selanjutnya masa-masa air mata kulewati dengan lamban atau bahkan tak bergerak sedikit pun. Walau hatiku hancur, tapi puing-puing harapan itu tetap saja menghantuiku. Gelar sarjana ku dapat, tapi aku masih saja menganggur. Kerjaanku hanyalah meloper koran dan linglung ke sana ke mari membawa ijazah. Di saat senja mulai melambai, aku selalu melepas lelah di perpustakaan kota yang lenggang. Ku sibukkan diriku dengan berbagai buku, dan itulah awal dari sesuatu yang hebat. Jalan keluar yang indah. Menulis. Ya, aku menulis. Pertama aku hanya iseng. Tapi kemudian aku mulai serius, ketika merasakan suatu kepuasan pribadi yang membuatku ringan. Kebahagiaan kecil yang sederhana. Dan aku mulai melupakannya, walau semua cerita yang kutulis adalah kenangan saat bersamanya. 

_ 

"Ranu, maafkan aku." tangisnya semakin jadi. Ku lihat air matanya menetes ke bawah. Aku hanya diam, menatap iba padanya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, puing-puing harapan itu sebenarnya masih ada dan ku simpan dengan rapi di ruang istimewa hatiku. Dan kini semua yang lalu seperti terkiaskan oleh air matanya. Jika seperti ini, aku tak mampu. Benar-benar tak mampu. Kenyataan yang menyedihkan. Ternyata aku masih mencintainya, bahkan perasaanku itu kini seperti mengembang tiba-tiba, dan denyut nyeri di dada kembali membuatku sesak. Perih sekali. Bahkan ini lebih sakit dari tiga tahun lalu. 

Perlahan aku bangkit. Menghampirinya dengan tetesan air mata tanpa isak. Ku raih tangannya dan sontak dia merangkuhku, menangis terisak di bahuku. Kubalas rangkuhannya, tubuhnya bergetar. Tapi perasaan nyaman ini selalu sama seperti dulu. Hangat dan sungguh nyaman. Detik berikutnya aku sudah larut dalam symphoni sedu ini. Kami berdua menangis, tapi aku hanya menguraikan air mata tanpa isak yang menderu. 
"Maafkan Aku......" bisiknya lirih. Tapi cukup membuat hatiku berdesir hebat. 
"Aku selalu memaafkanmu, Naila. Hati ini tak bisa berbohong." ucapku seraya membelai rambutnya yang panjang."Cinta selalu saja tak bisa dimengerti. Tapi aku tahu cinta yang ku nikmati ini adalah sebuah cinta yang ku jaga dengan hati-hati, dan setia walau kecewa. Selama ini harapan selalu ada untukmu. Hatiku selalu terbuka untukmu dan tahukah jika aku masih menunggumu hingga detik ini. Maukah kau menikah denganku?" isaknya kian menderu bersamaan pelukan yang kian erat. 
"Itulah yang ku harapankan setelah berminggu-minggu tertatih mencarimu." ucapnya lirih, lalu perlahan pelukannya merenggang. Kami saling menatap, sesaat hening. Diam yang penuh arti. Kukecup keningnya dengan penuh kelembutan. Kami tersenyum. 
"Sekarang maukah kau menemaniku mencari cincin yang kau suka." 
"Tidak, aku ingin cincin yang dulu kau tawarkan padaku. Masih ada?" 
"Tenang, aku selalu membawanya." 
Ku pasangkan cincin berlian seharga gaji setahun dari meloper koran di jari manisnya. Dan ia pun melakukan hal yang sama, lalu ia merangkuhku lagi. 
"Thanks for everything..." bisiknya. 
"Anytime," ku belai lagi rambutnya.



Penulis : Garin Afranddi


No comments:

Post a Comment